600 lembar alas tidur tikar besar. 1000 box susu bubuk anak. 600 roll biskuit bayi siap saji. 1500 pakaian baru anak-anak. 200 kotak susu cair siap minum. Tak disangka banyak amanah pada kali ini yang harus tersampaikan pada korban pengungsian merapi. Sampai rabu malam masih ditambah lagi 300 tas sekolah. 500 paket isi crayon warna buku gambar buku cerita mainan lego (yang ini saya jadikan tugas mahasiswa kumpulkan dan dapat nilai tambah he he), serta 1500 botol tetes mata dan curcuma dari sahabat dokter.
Bismillah, dari niatan yang terus urung sejak beberapa minggu lalu, kali ini saya paksakan diri untuk ikut serta, melihat langsung kondisi disana, sekaligus checking sekian donasi rutin yang telah disalurkan ke frontliner yang berbagai donator percayai disana. Kamis pukul 10.00 ngepot sebentar menghabiskan kekuatan rupiah yang tersisa ke Indogrosir Cipinang, dikawal 3 sahabat junior yang baik hati, plus 1 box truk pinjaman dari senior mas Koko melalui pak Jahran.
Kamis 10.00 Ngepot dan sauna belanja di Indogrosir
Kamis 11.00 Bhama, Gregg, Rio, bantu pinjam setirkan truk, dan angkut gotong muat bongkar
Berkat kepiawaian Komandan Feri dibantu trio junior Roy Gregg Bhama dan duo cleaning service Imam-Deni, semua donasi yang tertumpuk di wisma sudah memenuhi truk. Sayangnya tas sekolah crayon buku gambar mainan buku cerita dan obat-obatan tak mungkin muat lagi di truk, karena jumlahnya sungguh tak diduga banyak sekali dan masih tertumpuk di pondok kelapa.
“Bantuan Merapi” hasil print-an sahabat Wiwik tertempel cantik, 13.00 truk melaju dilepas oleh sahabat Unang, sementara saya sendiri masih sibuk pesan ini itu untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang akan tertunda selama 1 hari kedepan. “Perhatian, seluruh komando perjalanan ada disaya, jangan pada bandel ya” demikian titah kumendan Feri, 15.00 Innova menyusul iringi truk, isinya kumendan Feri, Sukarto, saya dan Aini my guardian angel.
Kamis 14.00 Aini ulangan dan bolos supaya bisa ketemu teman-teman pengungsian
Kamis 21.00 Karto, Eko, Aini, isi bensin
Kamis 22.00 Seluruh komando misi pengantaran ada ditangan Kumendan Feri
Kamis 22.00 Truk dan malaikat kecil penyemangat perjalanan
Kumendan Feri mengambil alih kemudi. Antrian macet panjang perbaikan jalan, dicegat polisi periksa surat kendaraan, 2 kali isi bensin dan cari ATM dan numpang pipis, 3 kali berhenti di pos polisi dan pertigaan untuk bertanya memastikan arah jalan, adalah warna-warni perjalanan jalur tengah kami menuju Jogja.
Jumat 04.00 kepulan asap hitam letusan merapi dipagi hari menyambut kami. Kami sempatkan mampir ke posko jogja untuk minta izin parkir truk sebentar sebelum melanjutkan perjalanan ke TKP. Shubuh sarapan mandi dan 1 jam saja kami coba pejam mata luruskan badan di kamar 420 dan 421 Hotel Quality yang disediakan sahabat yang baik hati. 30 menit saya sempatkan ke sebelah hotel cari ATM bayar tagihan HP yang sangat krusial diperlukan saat itu, dan cari sedikit oleh-oleh untuk bisa diburu keluarga saat kami pulang, untuk para guru yang sangat mendukung Aini”bolos” jumat demi misi merapi.
Jumat 04.00 , Merapi menyambut dengan letusan dan asap hitam. Jogja kota bersih tanpa asap dan abu.
Jumat 05.00 check in hotel dan mencoba istirahat
Jumat 09.00, Mas Krisna, arsitek, relawan, pemandu
Setelah berkoordinasi dengan sahabat Dayu, dan sahabat Handoko yang standby di Magelang menangani posko utama, 10.00 Jeep merah frontliner mulai memandu van dan dari hotel menuju TKP. 11.00 memasuki Klaten, dijalan raya sudah disambut aparat dan dipandu 2km selanjutnya menuju Balai Desa Jogonalan. Saya tidak terlalu banyak melihat aktivitas dan barak para pengungsi. Beberapa ibu terlihat duduk-duduk didepan rentengan jemuran, puluhan anak-anak bermain dilapangan, dan beberapa kaum prianya gotong royong membantu kami menurunkan bantuan. Aparat desa membuatkan kami surat serah terima barang, Pak Camat Suradi mengucapkan terimakasih atas bantuan yang jauh-jauh sudah diberikan. “salam buat dek Wiwik ya, itu adek saya loh” he he siap Pak!
Jumat 11.00. Balai Desa Jogonalan, tempat penampungan pengungsi warga lereng merapi
Pak Suradi, Kades Jogonalan
Kaget dan terpukau, memandangi Merapi yang meletup dan berasap, mengarah ke arah Magelang
Mendengarkan cerita Pak Kades
Sebagian isi truk sudah terbongkar
Seorang aparat desa berbaju kampanye, melihat-lihat isi karung baju anak-anak. Insyaallah layak karena semuanya memang baru.
Serah terima dan tanda tangan daftar donasi
Ibu-ibu pengungsi di selasar kanan. Duduk-duduk dan melihat dari kejauhan.
Anak-anak mengisi waktu luang dengan bermain seadanya
Berbeda dengan Jogja Kota dan Klaten Kota yang terlihat normal bersih dan hijau tanpa abu, perjalanan arah Magelang penuh dengan tantangan. Terpaan angin keras dan abu tebal, pohon dan rumah tumbang laksana terlukis sephia, toko dan rumah semua tertutup abu, desa dan kota senyap bak kota mati. Kecepatan kendaraan hanya bisa dipacu 10 – 30km/ jam, pengendara dan motor yang terjatuh jadi pemandangan rutin, sesekali kami harus rem mendadak karena abu gelap yang tiba-tiba menghadang, luar biasa menegangkan.
Abu menyambut perjalanan ke arah Magelang
Angin mengencang, dua motor didepan slip dan terjatuh setelahnya
Abu menderas, kecepatan mobil hanya 10 – 30 km/ jam. Seringkali harus rem mendadak karena tertutup abu tebal.
3 meter jarak pandang maksimal kedepan, ini sudah yang terbagus.Wiper dan water spry tak henti bekerja
Jalanan licin dan berair oleh abu dan hujan
Bahkan 30 menit saya di van harus menunggu jeep dan truk yang terpisah ditengah perjalanan karena kondisi alam yang sedemikian buruknya, sambil mengevakuasi sepupu saya Miga dan bayinya Nayla akibat bencana merapi ini, berjuang mereka berdua menerjang abu untuk bisa janjian bertemu saya di depan pasar muntilan yang sepi tutup tak bernyawa.
Evakuasi sepupu dan bayinya. Rumahnya rubuh. 2 jam terperangkap di reruntuhan mushola pengungsian, akibat 2 jam gempa beruntun. 200 bebek petelur dan ikan2 di dua kolamnya mati semua karena hujan kerikil abu panas. Kebun cabenya gagal panen. 5 hari tanpa listrik. Krisis pakaian bersih dan terserang gatal-gatal.
Bak kota mati, sunyi senyap
Awal rencana “nakal” kami untuk menyelusup ke km10-15 dipandu frontliner terpaksa dibatalkan karena buruknya cuaca dan keterbatasan waktu. Jeep-truk-van merayap pelan di ring km15-20, melewati desa-desa yang tampak mati, berabu, pohon dan rumah bertumbangan, sawah palawija ringsek diterjang kerikil pasir dan abu panas, ya Allah. Kami melaju melewati berbagai desa, Dukun, Gunung Pring, dan Ngasem.
Satu dari sekian puluh pengungsian yang kami lewati. Lebih layak dan beruntung, namun lainnya swadaya dan memprihatinkan
Rumah dan tumbuhan rubuh diterpa angin kerikil pasir abu panas
Air kali berwarna abu penuh pasir pekat. Warga di pengungsian arah Magelang ini mengalami krisis air dan terserang penyakit gatal-gatal
Reruntuhan rumah dan abu yang masih menggulung
Sawah dan pohon semuanya sujud merunduk
Lihat bedanya, pepohonan depan sengaja saya goyangkan dulu debunya
Di desa terakhir, ditengah lautan dan hujan debu, truk dikosongkan muatannya. Kami disambut ratusan warga pengungsi, mereka sukacita, namun sungguh saya melihat wajah-wajah yang nrimo ikhlas dengan tatapan kebingungan.
Sulitnya medan menempuh penampungan swadaya sederhana di pelosok. Bahu membahu membuka akses jalan
Melewati timbunan pohon dan rumah runtuh, seperti kota mati, menegangkan
Bingung terasing mengungsi di kampung orang lain yang sama buruk keadaannya
Tiba di pos terakhir pengungsian swadaya yang jauh terpelosok
Ngasem, para pengungsi malu-malu keluar menyambut
Mata harus terus dipicingkan untuk menahan pedih debu, Aini harus pakai kacamata cengdem yang ikhlas dipinjamkan Karto.
Diterpa angin dan hujan abu, perangkat masker + kacamata pinjaman, sesak dan mata perih
Sesekali saya haris membuka masker untuk bisa berbicara jelas, sekaligus rasa “malu” karena hampir sebagian besar dari pengungsi harus tahan tidak bermasker karena ketidakadaan supply.
Ibu-ibu khusus ditempatkan di mushala, tikar robek dan terbatas digelar. 1 dari 10 saja yang menggunakan masker, memprihatinkan
Beberapa anak-anak datang mengelilingi, sementara Aini sibuk sendiri colek-colek beberapa bayi dan bagi-bagi coklat snack simpanannya, saya didatangi ibu-ibu yang tanpa diminta menceritakan rumahnya rubuh, ternaknya mati, anaknya ada yang patah kaki, dengan wajah nanar tanpa ekspresi, namun terlihat kerlip air mengambang dimata mereka. Demikian pula cerita tragis yang saya dengar dari sepupu. Duh duh, sabar ya, tawakal.
Ibu ratmi dan anaknya, rumah saya rubuh bu, anak saya patah kakinya tertimpa atap kayu saat gempa panjang
Gotong royong pengungsi membantu menurunkan bantuan. Aini dan teman-teman pengungsian ribut ikutan membantu, khas anak-anak
Pak Bambang, Kepala pengungsian setempat, serta warga secara khusus dan khusuk mendoakan segala kebaikan untuk kami dan keluarga sahabat yang sangat peduli. Rasanya malu atas semua doa ikhlas mereka yang tak sebanding dengan apa yang telah kita bantukan. Mereka juga sangat antusias berfoto dengan kami.
Pak Bambang kepala pengungsian swadaya, simbolis menerima bantuan
Heboh ingin foto bersama. Sedikit sekali yang pakai masker, padahal angin dan abu terus mengguyur
Rasanya saya malas untuk beranjak dari sana, ingin cerita-cerita banyak sama ibu-ibunya, ingin main-main lama dengan anak-anaknya. Disana kami berpisah dengan mas Eko supir truk, kami instruksikan untuk segera pulang Jakarta, dan angkut donasi trip kedua.
Sehabis mendengarkan curhat ala wanita bersama pengungsi. Sabar dan tawakal ya ibu-ibu. Walau badai ujian hidup menghadang, keep alhamdulillah keep smiling terus kayak saya
16.00, setelah makan kesiangan (lagi) di mbok berek, kami meluncur pulang. Sok gaya sok pintar, jalur selatan kami lintasi dengan diskusi berat tasawuf agar menantang mata tetap melek ditengah terjangan lelah dan kantuk yang luar biasa. Setiran ala “Fear Factor” diiring derasnya hujan, menambah lengkap ketegangan dan kepasrahan malam itu. 22.00 saya shalat dikendaraan saja, dan sudah hilang selera dengan ajakan kedua driver handal untuk makan kemalaman di pringsewu wangon.
Sabtu 02.00 alhamdulillah kami tiba di rumah Bandung. Setelah didoping kopi hangat, Feri dan Karto melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Badan rasanya remuk dibanting-banting. Bada subuh saya “pingsan” dan terbangun pukul 11.00, bada duhur “pingsan” dilanjutkan sampai pukul 16.00. Bada magrib saya “pingsan” lagi sampai pagi tadi he he he. Sebuah SMS masuk dari mas Eko supir“Bu, saya sampai lagi di Jakarta. Barang yang di pondok kelapa sudah masuk truk, bentar lagi saya jalan. Makasih ya bu”. Selamat jalan mas Eko, sampaikan trip kedua titipan kami kesana ya, supaya anak-anak bisa kembali ceria bermain belajar menggambar membaca, hilang trauma dan memanfaatkan kebosanan waktu mengungsi dengan kegiatan edukasi yang sebaik-baiknya.
Sabtu 17.00. Truknya mas Eko siap meluncurkan trip kedua.
Hanya syukur dan syukur, ditengah aneka ragam kewajiban lainnya, Allah telah kuatkan niat dan memberi kesempatan tak terduga untuk bisa menyelusup ke pelosok pengungsian swadaya yang terlantar, bertemu langsung saudara-saudara kita yang sedang berduka dan kebingungan disana. Dari beberapa sample pengungsian saja, mata kasat dan hati saya pribadi berbicara akan banyaknya fakta bantuan yang berbeda dengan aneka berita dan informasi yang dikoar-koarkan, sungguh memprihatinkan. Pelajaran hidup yang sangat berharga, terasa makin kecil saja diri ini, bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Sungguh beruntung Allah telah mempertemukan dan mempersatukan kami dengan orang-orang yang amanah dan berjiwa besar, penuh tindakan gak banyak omong, penuh keringanan tangan saling membahu dan membantu yang terbaik tanpa diminta tanpa hitung-hitungan. Semoga benar-benar terlahir semangat Tangan Di Atas, yang sesungguhnya.
Misi sudah berakhir? Semoga masing-masing hati kita menjawab “belum”. Disela isak tangisnya, sepupu salah satu korban nyata menceritakan 1500 an pengungsi di Bentingan dan di titik-titik pedesaan sekitar yang mengungsi swadaya seadanya dan tak terperhatikan, ribuan pengungsi yang saat ini katanya masih tidur ditruk-truk beratap terpal, belum lagi ditempat lainnya, Wasior dan Mentawai yang begitu terasa jauh dari jangkauan jasmani kita. PR besar untuk terus mengasah rasa, saling bantu dengan ikhlas, tepat dan adil, bukanlah hal yang mudah.
t.e.h.l.e.n.i.
Thanks to all keluarga himniers atas kekompakannya selama ini, juga para sahabat lainnya. Om Unang and Blake yang terus update pantau. Jeng wiwik sang debt collector. Pak Sumarna yang direcoki timbunan donasi di wisma. Mas Koko yang minjemin truk box belanja. Cilla dan Vega dengan dedikasinya. Gregg Roy Bhama Imam Deni yang keringetan angkut angkat. Dayu Handoko- Banteng dan Andrias yang sudah direpoti koordinasinya. Mas Khrisna untuk semangat pelosok dan jeep merah kerennya. Mas Eko supir truk yang digenjot dua kali trip melelahkan sabtu ini. Sang pemilik van nyaman dan penyedia kamar hotel transit. Simpai Deni yang memfasilitasi pertemuan dan truk boxnya. My guardian angel Aini to lighten my life spirit always high. Especially Sukarto dan Feri yang 24jam full gantian nyetir, banyak dikuras dompet pribadi dan pulsa HP nya, merawat dan menjaga saya dan Aini dengan sangat baik selama perjalanan, kembali tiba selamat dan sehat gemuk bergizi. Keep growing up with!
Last Comment